Hal lain di sekolah ternama

Nissyeyyy
4 min readJan 13, 2024

Kembali ke kota kelahiran sejak 5 tahun pindah tidak membuat Tanjiro menerima semua dengan mudah. Banyak hal yang berubah dalam kurun waktu segitu. Membuat ia harus kembali menyesuaikan diri di tempat yang terasa asing baginya.

Ketukan konstan dari daun pintu menyadarkan Tanjiro dari lamunannya. Tak lama setelah itu, seorang gadis yang mengenakan seragam sekolah persis sepertinya menyembul dari belakang pintu setelah mendapatkan izin dari pemilik ruangan.

“Mas sudah selesai? Sudah di tunggu bunda.” Tanya Nezuko.

Mengangguk singkat sebagai jawaban. Tangan Tanjiro langsung menyambar tas di atas meja lalu melangkah beriringan dengan adik kembarnya untuk turun ke lantai bawah.

Hari ini, kedua Kamado itu akan menjalankan hari pertamanya sebagai murid baru di sekolah ternama; SMA KIMETSU.

Bangunan sekolah itu menjulang tinggi dengan 4 lantai dari setiap gedung. Warnanya mentereng dengan dominan hijau di tambah pepohonan yang tumbuh subur di bagian pinggir. Menambah kesan teduh nan nyaman.

Baik Tanjiro dan Nezuko duduk patuh di hadapan seorang guru dengan meja sebagai penghalang. Temperatur rendah di ruang guru menambah kegugupan di hati si kembar.

Usai mematikan sambungan telepon. Pak Obanai pun mulai memberikan atensinya pada dua murid baru di hadapannya.

“oke, kalian murid baru yang kembar itu ya? Kamado Tanjiro dan Kamado Nezuko.” Jeda sesaat, kemudian kembali berucap. “Nah, untuk kelasnya. Tanjiro ada di ruang XI IPS 4 lalu Nezuko di XI MIPA 3. Ini sudah sesuai dengan peminatan yang kalian pilih ya…”

Bagai mendapatkan hembusan angin menyegarkan. Tanjiro dan Nezuko melepaskan helaan nafas lega. Sesuai yang mereka harapkan. Tanjiro bisa sekelas dengan Zenitsu dan Inosuke lalu Nezuko dengan Kanao dan Aoi. Memudahkan jalan mereka untuk menjalani hari di sekolah.

Setelah menyelesaikan beberapa hal. Baik Tanjiro maupun Nezuko berjalan keluar dan hendak pergi ke kelas masing-masing bersama wali kelas. Tapi belum jauh mereka berpisah, tangan milik Tanjiro di cekal oleh Nezuko, menahan kakaknya untuk pergi.

“Mas, jangan aneh-aneh ya… perasaan adek enggak bagus…” bisik lirih Nezuko tanpa berniat di dengar oleh wali kelas mereka.

Kepala merah itu menoleh, menatap iris sewarna merah muda itu penuh dengan tanda tanya. Akan tetapi seperti punya kemampuan telepati, Tanjiro langsung mengerti bahwa ia tidak akan mendapatkan jawaban itu sekarang. Perkataan Nezuko sudah cukup menjadi sebuah peringatan untuknya. Menahan rasa haus penasaran sedikit lebih lama, setidaknya sampai mereka tidak berpijak di tempat ini lagi.

oke, adek juga ya… abaikan aja yang coba gangguin kamu.” ucapnya tak kalah lirih.

Beberapa jam berlalu menjalani status sebagai murid baru. Tanjiro mulai mengerti mengapa SMA KIMETSU menjadi salah satu sekolah terbaik dengan tingkat akreditas yang tinggi.

Semua hal telah difasilitasi dengan baik. Setiap ruang kelas dilengkapi dengan pendingin ruangan bahkan lab untuk pelajaran IPA terkondisikan dengan baik. Jejeran piala di tata serapi mungkin saat ia lihat di lobby, hal itu menandakan bahwa murid yang mengemban ilmu sekolah ini memiliki segudang prestasi. Namun tetap saja, sebagus apa sampul di depannya tidak menjamin bahwa bagian dalam ikut sempurna.

Bangunan terbengkalai yang masih berdiri kokoh sampai sekarang menjadi satu-satunya objek yang tidak luput lepas dari pandangan iris merah milik Tanjiro.

Karena kelas yang ia tempati berada paling ujung di gedung utara membuat satu-satunya pemandangan yang dapat dilihat di jendela kelas adalah gedung itu.

“… materi itu sudah lu pelajarin belum di sekolah lu yang dulu?”

Menyadari ada yang bertanya. Lelaki itu langsung tersadar dari lamunannya yang ternyata cukup lama.

Dengan kebingungan ketara. Dia membalas ucapan Inosuke. “Eh apa? Materi itu? Keknya… belum deh.”

Diam-diam sejak tadi Zenitsu sudah memperhatikan kemana arah pandang Tanjiro mengarah. Dia tahu bahwa ada sejuta pertanyaan yang berkeliaran di benak kepala merah itu. Terkait gedung itu.

“Lu pasti masih penasaran kan sama gedung 06 itu? Tapi kalau gua bilang, kubur dalam-dalam rasa kepo lu itu. Jalanin hari kek biasa aja, gosah macam-macam.”

Tanjiro berkelit. “Apaan sih, memang aku mau ngapain coba?”

“kita sudah temanan dari kecil walaupun lu sempat pindah” Zenitsu mendesah pasrah. “gua tau kalau lu bakalan ngelakuin apapun demi menuntaskan rasa penasaran lu itu.”

“yaudah kalau gitu kasih tau gue dong, jangan setengah-setengah.”

“apa lagi yang mau lu tanyain kentaro? Lagian lu juga udah tau kan cerita tentang 20 tahun yang lalu.” Jawab Inosuke, gemas sendiri dari tadi cuman diam aja.

“ya tetep aja. Kalian masa gak ngerasa ganjal sih sama kejadian kek gitu?” Tanjiro bersikukuh.

Tanjiro memang kepalanya keras luar dalam. Maka dari itu sebagai orang yang paling waras, Zenitsu harus mengais kesabarannya demi menanggapi Tanjiro dan rasa keponya.

“sayangnya cuman sebatas itu aja yang kita tahu Tan. Enggak lu aja tapi banyak juga orang penasaran tentang cerita 20 tahun yang lalu. Tapi kita bisa apa? Guru-guru enggak ada yang tau…”

“bukannya enggak tau sih, lebih tepatnya enggak mau kasih tau. Sayang nyawa cuy.”

Sontak kepala berhelain berma itu menoleh ke samping pada Inosuke yang santai menulis rangkuman materi sedangkan di depan meja dengan tatapan kebingungan. Berbanding terbalik di depan meja mereka Zenitsu seakan-akan sudah mengerti maksud ucapan Inosuke.

Belum sempat Tanjiro kembali bertanya, Zenitsu memotong cepat. “Jangan bahas sekarang, nanti aja.”

--

--

No responses yet